A.
Sejarah
Farmasi Klinik (Ikawati, 2010)
Sejarah
munculnya farmasi klinik dimulai pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan
pada fungsi tenaga farmasi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan
pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang
relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas
norma praktik pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang
meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai
dari University of
Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an
(Miller,1981).
Pada era itu, praktik kefarmasian di
Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat terpusat pada dokter, di
mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi klinik muncul
dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang
diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu disajikan
proyek percontohan yang disebut “ 9th floor
project ” yang diselenggarakan di University
of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat dengan
pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali kelahiran suatu konsep
baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut
sebagai farmasi klinik (DiPiro, 2002). Hal ini membawa implikasi
terhadap perubahan kurikulum pendidikan farmasi di Amerika saat itu,
menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang memiliki keahlian
klinik.
Perubahan visi pada pelayanan farmasi
ini mendapat dukungan signifikan ketika Hepler dan Strand pada tahun 1990
memperkenalkan istilah pharmaceutical
care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti”
yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang
di-Indonesia-kan menjadi “ asuhan kefarmasian ”, adalah suatu pelayanan yang
berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap outcome pasien. Pada
model praktik pelayanan semacam ini, farmasis menjadi salah satu anggota kunci
pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab
pada outcome pengobatan.
Perkembangan peran farmasi yang
berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi
profesi farmasis klinik Amerika American
College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan
sebuah makalah berjudul, “ A vision
of pharmacy’s future roles, responsibilities, and manpower needs in the United
States.” Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi
penyedia pelayanan kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal
untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP,
2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya farmasis
klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan memadai.
Dalam sistem pelayanan kesehatan,
farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan
evaluasi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien
maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi
ilmiah yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan
informasi terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep farmasi klinik pun kemudian
berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan penerapan
yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan kondisi masing-masing.
Berikut
perkembangan farmasi klinik di bagian dunia yang lain, yaitu Eropa, Australia,
dan Indonesia sendiri sebagai perbandingan.
1.
Farmasi
Klinik di Eropa
Gerakan
farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979
(Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus
mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan
pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi
persyaratan dan standar untuk keahlian dan keterampilan seorang farmasis klinik
(ESCP, 1983). Pada tahun
itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding simposium bertemakan ‘ Roles and Responsibilities of the
Pharmacists in Primary Health Care ’ di mana berhasil disimpulkan
peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain
mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan
yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “ The
Future of Clinical Pharmacy in Europe ” yang merefleksikan
perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan
kesehatan (Bonal et al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara
universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan perkembangan teknologi
kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan
profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh
farmasis di rumah sakit, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun,
dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh
aktivitas farmasi klinik adalah meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan
rasional, dan hal ini berarti :
a. Memaksimalkan
efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi
tertentu pasien.
b. Meminimalkan
risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi
dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
c. Meminimalkan
biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun
demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara
Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi
klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam
pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan
Inggris.
2.
Farmasi
Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan
100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi
profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di rumah sakit di Australia
adalah The Society of Hospital
Pharmacists of Australia (SHPA), yang
didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA
mempublikasikan standar pelayanan farmasi klinik yang menjadi referensi utama
pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini
adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi dari aktivitas
farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan
kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia,
dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat Sarjana
maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002).
Macam
Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun
ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik
meliputi :
a. Pemantauan
pengobatan
Hal ini dilakukan dengan
menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang
kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara
langsung.
b. Seleksi
obat.
Aktivitas ini dilakukan dengan
bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam
penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
c. Pemberian
informasi obat
Farmasis bertanggug-jawab mencari
informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian
mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
d. Penyiapan
dan peracikan obat
Farmasis bertugas menyiapkan dan
meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
e. Penelitian
dan studi penggunaan obat
Kegiatan farmasi klinik antara lain
meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemiologi, farmakovigilansi, dan
farmakoekonomi.
f. Therapeutic drug monitoring
(TDM)
Farmasi klinik bertugas menjalankan
pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik
untuk optimasi regimen dosis obat.
g. Uji
klinik
Farmasis juga terlibat dalam
perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
h. Pendidikan
dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang
dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya
farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.
3.
Farmasi
Klinik di Indonesia
Praktik
pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun
2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi
klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya
penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di rumah sakit merupakan
salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika farmasis yang semula berfungsi
menyiapkan obat di instalasi farmasi rumah sakit, kemudian ikut masuk ke
bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika
turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara
maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup
besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat
terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001,
berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di Indonesia. Saat itu
terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan
kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai
penunjang.
Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis
rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik,
walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi
klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari
harapan.
Upaya
strategis harus dilakukan untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan
masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan
benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang
diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.
B.
Manfaat Farmasi
Klinik dalam Optimasi Hasil Terapi
Banyak penelitian telah membuktikan
peran farmasi klinik terhadap berbagai outcome
terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi
klinik (kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis
(pengurangan biaya kesehatan). Hasil review publikasi antara tahun 1984-1995
oleh Inditz et al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik
efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan
melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.
Bond et al. (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik
dapat menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan. Terdapat
perbedaan sampai 195 kematian/tahun/rumah sakit antara rumah sakit yang
menjalankan aktivitas farmasi klinik dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang
dilakukan di Massachusetts General
Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite (kunjungan) ke bangsal
perawatan intensive care unit (ICU) dapat mengurangi sampai 66%
kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan
dalam perintah pengobatan (Leape et al, 1999).
Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan, pengaturan
penggunaan antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan pemantauan
melalui telepon oleh farmasis klinik telah berhasil
meningkatkan outcome klinis pasien dibandingkan dengan cara pelayanan
farmasi secara tradisional (Witt dan Humphries, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Karena setiap
negara memiliki situasi berbeda dalam hal pelayanan farmasi klinik, perlu
dilakukan juga pengamatan serupa terhadap dampak pelayanan farmasi terhadap
peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup pasien. Adalah kenyataan yang
tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi masalah terkait dengan
penggunaan obat (drug-related
problem, DRP) di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
Contohnya di sebuah rumah sakit di
Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus
mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi penyakit
yang tidak diterapi secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien hemodialisis
di sebuah rumah sakit di Jawa Timur, 90,4% mengalami DRP, dengan jenis
terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009). Kejadian
serupa masih banyak dijumpai, misalnya DRP pada penatalaksanaan strok (Rahajeng,
2006), penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri
kanker (Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.
Karena
itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi kejadian DRP
tersebut, dan lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi pasien. Intervensi
farmasis dalam hal pemberian konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil
meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup pasien (Ikawati et al, 2008; Hermawan, 2009). Demikian
pula pada pasien hipertensi di sebuah rumah sakit di Jawa Tengah, konseling
farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan darah yang diinginkan
(Kusumaningjati, 2008).
C.
Definisi
Farmasi Klinik
Beberapa definisi atau pengertian
tentang farmasi klinik:
1.
Farmasi Klinik didefinisikan sebagai
suatu keahlian khas ilmu kesehatan, bertanggung jawab untuk memastikan
penggunaan obat yang aman dan sesuai pada pasien, melalu penerapan pengetahuan
dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan
pendidikan khusus (spesialisasi) dan atau pelatihan terstruktur tertentu
(Charles, 2004)
2.
Menurut Clinical Resource and Audit
Group (1996),” Sebuah disiplin ilmu yang berkonsentrasi terhadap penerapan
keahlian farmasi terutama khasiat obat untuk memaksimalkan terapi obat dan
meminimalkan toksisitas obat pada pasien
3.
Menurut Cipolle, Strand and Morley
(1998), “ Sebuah praktik kefarmasian di mana praktisi farmasis bertanggung
jawab terhadap terapi obat pada pasien, dan menjalankan praktik ini dengan penuh
tanggung jawab sesuai komitmennya.
4.
Farmasi Klinik adalah istilah yang umum
digunakan dalam praktik kefarmasian dan dalam literatur farmasi. Praktik yang
spesialisasi dibidang kesehatan, yang menggambarkan kegiatan dan jasa farmasis
klinik untuk mengembangkan dan mempromosikan penggunaan obat yang rasional dan
tepat produk obat-obatan dan perangkat (European
Society of Clinacal Pharmacy, 2010).
Landasan hukum dalam mengimplementasikan
penerapan farmasi klinik adalah sesuai SK MenKesNo.436/MenKes/ SK/ VI/ 1993
dimana jangkauan pelayanan farmasi klinik meliputi :
1. Melakukan
konseling
2. Monitoring
efeksamping obat
3. Pencampuran
obat suntiksecara aseptis
4. Menganalisa
efektivitas biaya
5. Penentuan
kadar obat dalam darah
6. Penanganan
obat sitostatika
7. Penyiapan
total parenteral nutrisi
8. Pemantauan
penggunaan obat
9. Pengkajian
penggunaan obat.
D.
Pelayanan
Farmasi Klinik (Charles, 2004, Ikawati,
2010)
Pelayanan farmasi klinik didefinisikan
sebagai penerapan tentang pengetahuan obat untuk kepentingan pasien dengan
memperhatikan kondisi penyakit pasien dan kebutuhannya untuk mengerti terapi
obatnya.
Pelayanan farmasi pada masa lalu hanya
berorientasi pada peracikan obat dan pendistribusian obat secara langsung
kepada pasien. sehingga hanya berorientasi pada obat. Pada pelayannan farmasi
klinik tuntutan terapi obat sudah komprehensif, sehingga dapat dikatakan bahwa
pelayanan farmasi klinik berorientasi pada pasien, berorientasi pada penyakit,
berorientasi pada obat, dan dalam praktiknya berorientasi antar disiplin
profesional.
Tujuan pelayanan farmasi ialah :
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan
biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien
maupun fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai
obat.
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang
berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah
dan evaluasi pelayanan.
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah
dan evaluasi pelayanan.
7. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode
Kegiatan pelayanan farmasi klinik yaitu memberikan saran profesional pada
saat peresepan dan setelah peresepan. Kegiatan pelayanan farmasi klinik sebelum
peresepan meliputi setiapkegiatan yang mempengaruhi kebijakan peresepan
seperti: penyusunan formularium rumah sakit, mendukung informasi dalam menetapkan
peresepan rumah sakit,
evaluasi obat.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik selama peresapan contohnya adalah:
memberikan saran profesional kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait
dengan terapi obat
pada saat peresepan sedang dilakukan
Sedangkan kegiatan pelayanan farmasi klinik sesudah peresepan yaitu:
setiap kegiatan yang berfokus kepada pengoreksian dan penyempurnaan peresepanseperti monitoring DRPs, monitoring efek obat, outcome research dan Drug Use Evaluation (DUE).
Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang mempengaruhi secara potensial atau aktual
hasil akhir pasien.
Klasifikasi Drug Related Problems menurut ASCP, 2003 ada beberapa
kategori dalam DRPs, yaitu :
1.
Indikasi yang tidak ditangani (untreated indication)
Pasien
mengalami suatu kesehatan yang memerlukan obat, tetapi pasien tidak menerima
obat untuk kondisi tersebut. Hal ini dapat diidentifikasi dengan melihat adanya
indikasi yang belum ditangani sebelumnya, menambah kombinasi farmakoterapi
untuk mencapai efek yang sinergi/potensial, memenuhi kebutuhan akan obat untuk mencegah terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan.
2. Pilihan obat yang kurang tepat (improper drug selection)
Kondisi
kesehatan pasien telah diberi obat yang salah, atau obat yang diberikan tidak sesuai dengan keperluan pengobatan
pasien. Hal ini dapat diidentifikasi
dengan melihat adanya masalah kesehatan dimana obat yang telah
digunakan tidak efektif, terjadinya
alergi terhadap obat, menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi yang telah diberikan, adanya
faktor resiko terhadap kontraindikasi obat yang telah digunakan.
3.
Penggunaan obat tanpa indikasi (drug Use without indication)
Pasien
diberikan pengobatan tanpa indikasi yang jelas. Hal ini dapat diidentifikasi
dengan melihat tidak ada indikasi obat, menggunakan bahan tambahan yang tidak
diperlukan, tidak ada pengobatan yang lebih sesuai, pengobatan yang berlebihan,
memberikan obat terhadap reaksi obat yang tidak dikehendaki.
4.
Dosis sub terapi (subtherapeutic dosage)
Pasien
mempunyai masalah kesehatan karena telah diberi obat dengan dosis yang lebih
kecil daripada dosis yang sebenarnya. Hal ini dapat diidentifikasi dengan
melihat dosis obat yang digunakan pasien terlalu kecil, frekuensi pemberian
obat tidak sesuai, waktu pemberian obat terlalu dekat, penempatan obat yang
tidak benar, sehingga menghilangkan potensiasi obat, administrasi obat yang
tidak benar sehingga dosis yang sebenarnya diterima oleh pasien terlalu kecil.
5.
Overdosis (overdosage)
Pasien
mempunyai masalah kesehatan karena telah diberi obat dengan dosis yang lebih
besar dari pada dosis yang sebenarnya. Hal ini dapat diidentifikasi dengan
melihat : dosis obat digunakan pasien terlalu tinggi, frekuensi pemberian obat
yang tidak sesuai, waktu pemakaian obat yang tidak sesuai.
6.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction)
Pasien
mempunyai masalah kesehatan yang merupakan akibat dari reaksi obat yang tidak
dikehendaki. Hal ini dapat diidentifikasi dengan melihat : Pasien menerima
suatu produk obat yang dinilai tidak aman, terjadinya reaksi alergi terhadap
obat tersebut, penggunaan produk obat yang tidak benar menyebabkan terjadinya
reaksi dan efek obat yang tidak dikehendaki.
7.
Interaksi obat (drug interaction)
Pasien
memiliki masalah kesehatan yang merupakan hasil interaksi suatu obat dengan
obat tertentu, obat dengan makanan, atau obat dengan hasil laboratorium. Hal
ini dapat diidentifikasi dengan melihat: Interaksi obat satu dengan obat lain,
interaksi obat dengan makanan, dan interaksi obat dengan hasil laboratorium.
8.
Gagal menerima obat (failure to receive medication)
Pasien mempunyai
masalah kesehatan karena tidak menerima pengobatan dengan alas an ekonomi,
psikologi, sosial atau alasan-alasan kesehatan lainnya. Hal ini dapat
diidentifikasi dengan melihat: Tidak mendapatkan produk obat, pasien tidak
minum obat, pasien tidak mematuhi aturan penggunaan obat.
E.
Identifikasi Drug Related Problems
Ada 4 pertanyaan yang dianjurkan
apoteker pada setiap pasien yang diberi konsultasi untuk membuat keputusan
tentang ada tidaknya DRPs (Futter B and Burton
S, 1998) :
1.
Apakah terapi obat sesuai dengan
indikasinya? Terapi obat dikatakan tidak sesuai, bila obat diberikan tidak
sesuai indikasinya atau pasien memerlukan terapi obat tambahan.
2.
Apakah terapi obat tersebut efektif?
Terapi obat dikatakan tidak efektif, bila diberikan dengan obat yang salah atau
dosis yang terlalu kecil.
3.
Apakah terapi obat tersebut aman? Terapi
obat dikatakan tidak aman, bila pasien mengalami reaksi obat yang tidak
diinginkan atau pasien mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi.
4.
Apakah pasien mengikuti aturan
penggunaan obat yang telah diresepkan.
F.
Konponen
Dasar Farmasi Klinik (Charles, 2004)
Ada 3 komponen dasar farmasi klinik
yaitu: komunikasi, konseling dan konsultasi.
1. Komunikasi
Komunikasi merupakan
proses transmisi atau penyebaran informasi, pemikiran, emosi, keterampilan dan
lain-lain dengan menggunakan lambang, kata, gambar grafik, atau pesan dari
komunikator (pengirim) kepada komunikan (penerima).
Fungsi utama proses
komunikasi antara profesional pelayan kesehatan dan pasien adalah mengadakan
hubungan yang kontinyu dan melakukan pertukaran informasi yang perlu untuk
mengkaji kondisi kesehatan pasien, menerapkan
pengobatan masalah medis dan mengevaluasi efek pengobatan pada kualitas
hidup pasien
Ada 5 unsur pokok komunikasi
dalam melakukan pelayanan farmasi klinik yaitu:
a. Komunikator
b. Pesan
c. Komunikan
d. Umpan
balik
e. Rintangan
2. Konseling
Konseling
dalam praktik pelayanan farmasi klinik adalah pemberian atau pelayanan nasehat
tentang terapi obat untuk pasien, keluarga pasien atau profesi kesehatan.
Konseling merupakan merupakan proses pemberian kesempatan untuk mengetahui
tentang terapi obatnya atau masalah yang berkaitan penggunaan obat yang
diberikan oleh dokter.
Proses
pelaksanaan konseling biasanya dilakukan pada saat kunjungan pasien atau pasien
yang datang untuk meminta nasehat berkaitan terapi obat. Biasanya pelaksanaan
konseling waktunya berdurasi pendek dimana membahas tentang apa yang diinginkan
pasien atau pemberian nasehat berkaitan dengan obatnya saja.
3. Konsultasi
Pelaksanakaan
konsultasi berkaitan dengan terapi obat biasanya diperuntukkan oleh farmasis
dengan profesi kesehatan lainnya. Konsultasi sangat membantu proses pelayanan
farmasi klinik tertutama semakin banyaknya produksi obat dengan promosi yang
sangat kompetitif.
Pelayanan
konsultasi tidak hanya diperuntukkan untuk individu (profesi kesehatan)
melainkan dilakukan kepada Panitia Farmasi dan terapi (PFT), Komite Farmasi dan
terapi (KFT), Komite Penelitian Klinik (KPK), Komite Obat Investigasi (KOI)
G.
Penggolongan
Pelayanan Farmasi Klinik (Charles, 2004)
Pelayanan farmasi klinik terdiri atas
beberapa golongan sesuai karakteristik pelayanan:
1. Pelayanan
farmasi klinik yang didasarkan pada komunikasi langsung dengan pasien
(pelayanan dalam proses penggunaan obat)
a. Wawancara
sejarah obat pasien
b. Konsultasi
dengan dokter berkaitan pemilihan obat dan regimen dosis
c. Mengkaji
kesesuaian resep dokter
d. Membuat
profil pengobatan pasien
e. Memberikan
konsultasi kepada profesi kesehatan, pasien, keluarga
f. Memberi
edukasi kepada pasien
g. Memantau
efek obat.
2.
Pelayanan farmasi klinik yang merupakan
program rumah sakit menyeluruh
a. Fungsi
dan peran farmasis dalam PFT untuk kepentingan formularium
b. Fungsi
dan peran farmasis dalam pencegahan dan pemantauan terapi obat
c. Fungsi
dan peran farmasis pelaporan reaksi obat merugikan
d. Fungsi
dan peran farmasis evaluasi penggunaan obat
e. Fungsi
dan peran farmasis dalam penerbitan bulletin terapi obat
f. Fungsi
dan peran farmasis dalam pendidikan dan latihan.
3.
Pelayanan farmasi klinikformal dan
terstruktur
a. Pusat
pelayanan Informasi Obat
b. Pusat
pelayanan Informasi keracunan
c. Pusat
pelayanan farmakokinetik klinik
d. Pusat
pelayanan investigasi obat
e. Pusat
pelayanan total parenteral nutrisi
f. Pusat
pelayanan penelitian obat
g. Pusat
pelayanan pengendalian infeksi
h. Pusat
pelayanan obat sitotoksik.
4.
Pelayanan farmasi klinik subspesialistik
a. Pelayanan
farmasi klinik Pasien kritis
b. Pelayanan
farmasi klinik Unit Gawat Darurat
c. Pelayanan
farmasi klinik Onkologi – Hematologi
d. Pelayanan
farmasi klinik Transplantasi organ
e. Pelayanan
farmasi klinik Bedah / Anastesi
f. Pelayanan
farmasi klinik Pasien kronik
g. Pelayanan
farmasi klinik Pasien pediatrik
h. Pelayanan
farmasi klinik Pasien geriatrik
i.
Pelayanan farmasi klinik toksikologi
klinik.
Soal Evaluasi
1.
Jelaskan
perbedaan farmasi klinik dengan pharmaceutical
care?
2.
Jelaskan
kegiatan farmasi klinik sebelum, selama, dan sesudah peresepan.
3.
Jelaskan
komponen dasar dari farmasi klinik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar